PT. Freeport Indonesia adalah salah satu
perusahaan tambang terkemuka didunia. Yang melakukan eksplorasi, menambang, dan
memproses bijiih yang mengandung tembaga, emas, dan perak didaerah dataran
tinggi diKabupaten Mimika Provinsi Papua Indonesia.
Namun kegiatan Pertambangan PT. Freeport
Indonesia secara tidak langsung berdampak pada kerusakan lingkungan, sengaja atau
pun tidak sengaja. Hasil limbah dari PT. Freeport mencemari dan merusak
lingkungan hidup. Pengawasan dan penegakan hukum harus lebih diperhatikan oleh
Pemerintah, karena pemerintahlah yang memiliki kewenangan tersebut.
PT.
Freeport yang melakukan eksploitasi bahan galian tembaga di Tembaga Pura Papua
menyebabkan kesalahan-kesalahan dalam mengelola sumber daya mineral dan
pertambangan yang ada di Indonesia. Kesalahan tersebut bersifat kompleks dan
sistematis, maksudnya adalah berawal dari peraturan yang dibuat dalam
melaksanakan kegiatan pertambangan selama ini.
Kesalahan-kesalahan
yang di lakukan oleh PT. Freeport tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh, sehingga
berakibat tidak hanya kerugian negara atas penerimaan hasil tambang yang
terlalu kecil, namun juga berdampak pada masyarakat, khususnya masyarakat
sekitar lokasi eksplorasi.
Kesalahan-kesalahan
tersebut antara lain :
1.
Ketidakpahaman
pemerintah atas pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Tentang hak negara untuk menguasai
sumber daya alam.
2.
Landasan
hukum yang dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan pertambangan, yaitu UU No.11
Tahun 1967, tidak berpihak kepada rakyat
3.
Sifat
mementingkan diri sendiri dari pelaku pertambangan maupun dari oknum pemerintah
sendiri.
Padahal ketentuan Hukum Tentang Pengawasan Pemerintah
terhadap PT. Freeport sudah terdapat pada :
1. Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Penjelasan
dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua
dan untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.
Sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945
beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan
orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam
bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal
33.
Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi
yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu
menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik
Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan
rakyat. “Mendua” karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian
besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan
swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
2. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penguasaan Mineral dan Batubara
- Pasal
4 :“Mineral dan batubara sebagai sumber daya
dan yang tak terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Penguasaan
mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah. “
3. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 71
(1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam
melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam
melaksanakan Pengawasan, Menteri, Gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat
pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
4. Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN
Pasal 74
(1) Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban
Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Kesimpulan
:
Secara realitas
pelaksanaan pengawasan belum maksimal. Hal ini karena Kementerian Lingkungan
Hidup hanya berpatokan pada data yang ada di Pemerintah Daerah. Pihak
Kementerian Lingkungan Hidup beberapa tahun belakangan ini tidak melakukan
pengawasan secara langsung di lapangan.
Namun demikian, PT.
Freeport secara regulasi sudah melakukan laporan dalam kurun waktu tiga bulan
berturut-turut yang didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 431 Tahun 2008. Laporan ini diberikan kepada Kementerian Lingkungan hidup
setelah diketahui kemudian diberikan kepada Kementerian ESDM. Kendala-kendala
yang dihadapi pemerintah adalah situasi keamanan di sekitar area operasi dari
PT. Freeport, Keterbatasan petugas pemantau atau pengawas di daerah sehingga
akses pengaduan dan pemantauan menjadi lambat, Kondisi geografis yang tidak
mendukung, Jarang ada lembaga lain yang melakukan penelitian di PT. Freeport.
Cara mengatasi adalah Pemerintah pusat langsung turun lokasi dan memantau di lapangan
dan peningkatan kerja sama antara pemerintah daerah kabupaten, provinsi dan
pemerintah pusat.
REFERENSI
: